Memerangi Keterbelakangan di 2017
Tahun 2016 akan berakhir. Tahun 2017 mengetuk pintu di depan mata.
Banyak hal yang telah terjadi, dan banyak yang selalu bisa
dipelajari. Kesalahan pasti dibuat, namun kemampuan untuk terus belajar
membuka berbagai kemungkinan baik di masa depan.
Di berbagai belahan dunia, konflik masih mewarnai kehidupan manusia.
Perang di Suriah yang tak kunjung padam, sampai dengan tegangan di
Afrika tengah yang masih belum menemukan jalan keluar.
Kesempitan, Kerakusan dan Ketidakpedulian
Kesempitan berpikir juga masih melanda berbagai kehidupan manusia,
mulai dari hubungan di dalam keluarga sampai dengan hubungan antar
bangsa. Dari kesempitan berpikir tersebut lahirlah berbagai keputusan
yang salah kaprah.
Kerakusan politis dan ekonomis juga masih bercokol kuat di dalam
politik. Orang menggunakan jabatannya untuk menindas orang lain serta
memperkaya diri dan keluarganya, sambil melupakan peran utamanya di
dalam masyarakat.
Di sisi lain, menyaksikan itu semua, banyak orang menjadi muak dengan
politik. Mereka lalu menjadi warga negara yang tidak peduli pada nasib
bangsanya sendiri.
Ketidakpedulian ini makin mendorong terciptanya tata kelola politik
yang jauh dari rasa keadilan, dan justru menciptakan kesenjangan yang
semakin besar antara si kaya dan si miskin. Dari kedua hal tersebut
lahirlah beragam masalah yang membuat kehidupan bersama menjadi semakin
sulit.
Semua masalah tersebut berakar pada satu hal yang sama, yakni
keterbelakangan berpikir. Keterbelakangan ini lahir dari rendahnya mutu
pendidikan, terutama di Indonesia.
Apa yang bisa Dilakukan?
Ada enam hal yang kiranya bisa dilakukan menanggapi itu semua. Pertama, mutu pendidikan jelas harus diperbaiki, terutama mengubah paradigma pendidikan para guru yang ada.
Kemampuan berpikir kritis dan kreatif harus lebih diasah lebih tinggi
dari kemampuan untuk patuh dan menghafal. Guru harus diberikan ruang
untuk mengembangkan materi dan metode ajarnya, bukan terjebak pada
tugas-tugas administratif belaka.
Kedua, ini semua dilakukan dengan pertimbangan atas kebaikan
bersama. Segala kebijakan politik dibuat dengan berpijak pada apa yang
baik untuk semua, dan bukan untuk segelintir kelompok saja.
Minoritas tidak melulu harus berkorban, hanya karena ia minoritas.
Mayoritas tidak bisa seenaknya melanggar hukum, hanya karena ia
mayoritas.
Ini terkait dengan langkah ketiga, yakni membentuk sistem
dan mental demokratis. Indonesia, sudah sejak awal berdirinya, adalah
negara demokrasi dengan niat untuk mengembangkan sistem dan mental
demokratis bagi seluruh warganya.
Ini tidak boleh dilupakan, terutama ketika banyak ancaman dan masalah
bangsa yang datang bertubi-tubi. Diskusi dan nalar harus memperoleh
tempat yang lebih tinggi, daripada otot dan ancaman.
Ini semua hanya dapat terwujud melalui langkah keempat,
yakni kepastian hukum. Hukum harus menjadi acuan utama di dalam setiap
pembuatan kebijakan, dan ia harus berlaku untuk semua warga negara,
tanpa membeda-bedakan.
Namun, hukum tidak boleh melayani dirinya sendiri, melainkan melayani
rasa keadilan. Ketika hukum melanggar rasa keadilan, maka hukum itu
secara alamiah tidak berlaku.
Di dalam bukunya yang berjudul Faktizität und Geltung, Beiträge zur Diskurstheorie des Rechts und des demokratischen Rechtstaats,
pemikir Jerman, Jürgen Habermas, merumuskan tiga prinsip pembuatan
hukum yang adil di dalam masyarakat demokratis. Ini juga merupakan
langkah kelima yang penting untuk diambil, yakni bebas dari
paksaaan, dirumuskan di dalam kesetaraan dan terbuka bagi semua pihak
yang nantinya terkena dampak dari keputusan itu.
Jika sebuah kebijakan dibuat tidak berdasar dengan prinsip-prinsip
tersebut, maka ia kehilangan legitimasinya sebagai kebijakan. Artinya,
ia bisa, dan bahkan, wajib untuk tidak dipatuhi.
Keenam, orang harus berpikir sesuai dengan konteks. Jaman berubah, waktu berubah dan kita semua berubah di dalamnya.
Jika kita masih saja menganut ajaran yang sudah lama berlalu, maka
kita akan ketinggalan kereta kemajuan peradaban. Kita menjadi bodoh dan
miskin, sementara seluruh dunia berkembang maju ke arah keadilan dan
kemakmuran.
Keenam langkah ini adalah langkah untuk memerangi keterbelakangan.
Tahun 2016, kita banyak menemukan keterbelakangan berpikir semacam ini
yang menimbulkan berbagai masalah.
Semoga kita tidak jatuh ke dalam lubang yang sama di tahun 2017 nanti. Selamat tahun baru.
Komentar
Posting Komentar