Sejarah Singkat Jawara Banten
http://massandry.blogspot.com
Apa yang terbayang di benak
Anda ketika mendengar nama “Banten”? Barangkali, serangkaian kesan mistik akan
segera mengemuka: santet, pelet, debus, golok, dan semacamnya. Hal ini mungkin
sudah tidak perlu diperdebatkan karena Banten memang dikenal sebagai The Magic
City. Lalu, apa yang ada di benak Anda ketika mendengar nama “Jawara”? Apakah
istilah tersebut mampu menggiring Anda pada para pendekar berpakaian serbahitam
dengan golok terselip di pinggang layaknya di film-film laga kolosal?
“Tampilan fisik jawara, dulu
memakai baju (kampret) dan celana panjang longgar berwarna hitam, ikat kepala
(romal) atau topi hitam, goo terselip di pinggang, serta selendang sarung
gebeng. Busana tersebut dimaksudkan untuk memudahkan (melincahkan) gerak
sebagai pemberani,” kata Prof. Dr. HMA. Tihami.
Itu tampilan fisik, lalu
bagaimana dengan perangai? Jawara dikenal sebagai orang atau kelompok orang
yang memiliki keberanian tingkat tinggi, berbicara sompral dan meledak-ledak,
serta mengandalkan kekuatan ototnya. Tentu saja ini bukanlah sesuatu yang
tiba-tiba. KIra-kira di abad ke-19 sampai abad ke-20, jawara—juga
ulama—demikian intens menggerakan rakyat untuk melawan melawan otoritas
kolonial Belanda. Hal ini jugalah yang membuat daerah di ujung pulau Jawa ini
terkenal sebagai daerah pemberontak dan penganut Islam ortodoks.
Pada 1895, pemberontakan
pertama kaum jawara meletus, dipimpin oleh Haji Wakhia. Kemudian pemberontakan
petani yang dipimpin Haji Wasid pada 1888. Pemberontakan 1926 dimotori jawara
yang berafiliasi ke PKI, juga revolusi sosial yang dikobarkan rakyat Banten
pada 1945-1946 (Suharto:1996). Itu dalam skala nasional, akan lebih panjang
daftar pemberontakan yang domotori jawara jika ditambah peristiwa lokal.
Seperti pemberontakan dari Mas Jakaria (1811), Mas Hajji dan Mas Rakka
(1818-1819), Mas Raye (1827), Nyi Gumparo (1836), sampai pada pemberontakan
yang dipimpin Ratu Bagus Ali dan Mas Jabeng yang gagal (1839).
Lalu apakah memang jawara
hanya memiliki peran sebagai pemberontak? Jika dilacak ke akar sejarahnya yang
lain, ternyata jawara memiliki peran sosial yang diembannya. Dalam penelitian
bertajuk “Relasi antara Jawara dan Ulama” yang dilakukan Muhammad Hudaeri,
sedikitnya jawara memiliki lima peran social, di antaranya sebagai jaro, guru
silat, guru ilmu batin (magis), sebagai pemain debus, dan sebagai tentara
wakaf atau khodim kiyai.
Sebagai seorang jaro, jawara
memiliki tugas memimpin satu kejaroan (kelurahan). Sebutan jaro ini tak lain
adalah seorang kepala desa. Pada masa kesultanan Banten, jaro diangkat oleh
Sultan dengan tugas utama mengurus kepentingan kesultanan, seperti memungut
upeti serta mengerahkan tenaga untuk kerja bakti. Dalam pekerjaannya,
sehari-hari jaro dibantu oleh beberapa pejabat seperti carik (sekretaris jaro),
jagakersa (bagian keamanan), pancalang (pengantar surat), amil (pemungut zakat
dan pajak), merbot atau modin (pengurus masalah keagamaan dan masjid).
Selain sebagai jaro, jawara
juga dikenal sebagai guru silat. Dalam Serat Chentini, ada keterangan yang
menyebutkan bahwa pada masa pra-Islam, di daerah dekat Gunung Karang (Kabupaten
Pandeglang) telah dikenal istilah paguron atau padepokan. Masyarakat Banten
mengenal banyak paguron seperti Terumbu, Bandrong, Paku Banten, dan lain-lain.
Tiap peguron memiliki gerakan jurus-jurus dengan karakter yang berbeda, pun
dengan akar sejarah dan filosofinya. Di peguron inilah, jawara mengajarkan ilmu
bela diri.
Selain ilmu silat yang
bersifat fisik, jawara juga memiliki peran social sebagai guru ilmu batin
(magis). Jawara yang terkenal biasanya memiliki kemampuan ilmu batin, selain
ilmu bela diri yang bersifat fisik. Ilmu batin tersebut yakni kemampuan untuk
memanipulasi kekuatan supranatural, seperti kebal dari senjata tajam, tahan
dari api, bisa mengusir jin, dan sebagainya. Dalam memperoleh ilmu kebatinan
ini, diperlukan ritual khusus yakni bertapa. Aktivitas bertapa ini sudah
dikenal dan dilakukan sejak Islam belum masuk ke Banten.
Satu lagi yang terkenal di
Banten, yakni debus. Debus ini dilakukan oleh jawara. Debus adalah permainan
yang cukup berbahaya dan mampu memerindingkan bulu kuduk orang yang biasa.
Permainan debus hanya boleh dimainkan oleh jawara yang punya kemampuan di atas
rata-rata. Karena jika jawara biasa, maka akan mendatangkan balai. Debus juga
memiliki macam-macam tingkatan. Ada debus al-madad, debus surosowan, dan debus
langitan. Debus al madad merupakan debus yang paling tinggi tingkatannya dan
paling sulit. Konon, pemimpin permainan (disebut khalifah) harus melakukan
“amalan” yang sangat panjang dan berat. Al madad artinya meminta bantuan atau
pertolongan. Karena setiap kali melakukan permainan debus ini, pemainnya selalu
mengucapkan kata-kata ‘al madad’ yang menggambarkan bahwa permainan tersebut
terjadi atas pertolongan Allah Swt. Debus surosowan merupakan permainan yang
tidak memerlukan kemampuan yang tinggi. Debus ini biasa dimainkan oleh para
remaja. Nama “surosowan” berkaitan dengan nama istana kesultanan Banten. Debus
ini biasanya dipertunjukan di dalam istana sebagai hiburan, bukan untuk
mendapatkan kesaktian. Sementara itu, debus langitan adalah pertunjukan yang
melibatkan anak-anak dan remaja yang menjadi objek sasaran benda-benda tajam.
Dalam permainan ini, anak-anak dan remaja yang menjadi objek senjata tajam
tidak akan merasa sakit atau menderita luka-luka. Debus langitan ini ditujukan
sebagai permainan belaka.
Terakhir, jawara memiliki
peran sebagai tentara wakaf dan khodim kiyai. Mereka biasanya berperan sebagai
tenaga keamanan dalam acara-acara besar suatu organisasi atau Parpol. Pada masa
orde baru, “tentara wakaf” ini dijadikan alat oleh partai penguasa sebagai
satuan pengamanan di Banten. Beberapa jawara bahkan menjadi pengurus papol
tersebut. Akan tetapi, perubahan politik sejak terbukanya pintu reformasi telah
mengubah paradigm para jawara. Mereka tampaknya ingin lebih netral dan tidak
berafiliasi ke parpol tertentu.
Jawara yang sebenarnya adalah
“khodim kyai”. Itulah suara-suara yang sering muncul dari para warga yang tidak
setuju dengan peran-peran dan perilaku jawara sekarang ini. Peran sebagai
“khodim kyai” maksudnya berperan sesuai yang diajarkan para kyai, yakni:
membela kebenaran, berpihak kepada masyarakat yang lemah, berperilaku santun
dan tidak sombong dan sejumlah aturan normatif lainnya. Peran-peran yang ideal
itu semakin kurang dilakukan oleh para jawara di tengah kepungan kehidupan yang
materialistik.
Lalu, di zaman modern seperti
saat ini, di manakah kita bisa menemukan jawara?
“Jawara itu bagian dari
masyarakat. Namun sekarang lebih dominan yang ngajawara,” kata sejarawan Bonnie
Triyana.
Pernyataan Bonnie Triyana ini
diperkuat oleh Prof. Tihami dalam pengantarnya di buku Golok dan Tasbih karya
Muhammad Hudaeri (Biro Humas Setda Provinis Banten, Oktober 2005), bahwa
seiring perkembangan social, jawara telah tumbuh menjadi subkultur yang
dominan. Waktu pemerintahan kolonial, jawara dicap sebagai biang keonaran.
Masyarakat pun mencap mereka dengan citra negative, sombong, kurang taat
beribadah, dan lebih mengedepankan kekerasan untuk kepentingan dirinya.
Istilah ngajawara yang
dikemukakan Bonnie Triyana amat mendekati pernyataan Prof. Tihami.
Namun yang menjadi
pertanyaan, benarkah yang melakukan tindakan kekerasan itu benar-benar jawara,
atau hanya oknum tertentu yang mengaku-ngaku? Sebuah tantangan tersendiri bagi
jawara.
Komentar
Posting Komentar