Filsafat Matematika
Jalin-menjalin
antara metafisika (khususnya kosmologi yang merupakan ajaran-ajaran
tentang jagad raya) dengan matematika (khususnya geometri dan teori
bilangan yang menelaah bentuk geometris dan sifat alami bilangan)
sebagai mana dipadukan oleh filsuf-filsuf kuno kemudian diperkuat oleh
ilmuan-ilmuan modern. Misalnya saja sebagai pelengkap dari pendapat
Plato bahwa Tuhan senantiasa bekerja dengan metode geometri, ahli
matematika C.G.J.Jacobi (1804-1851) menyatakan : ”God ever arithmetizes”
(Tuhan senantiasa melakukan aritmatik). Pendapat Plato di atas juga
terpantul dalam seni.
Suatu
pristiwa terjadi dalam 1794 pada diri pelukis Inggris yang terkenal
bernama William Blake (1757-1827). Ia melihat suatu pandangan khayal
(vision) yang menunjukan Tuhan sedang menciptakan dunia ini dari ruang
yang masih hampa dengan mempergunakan sebuah jangka sebagaimana layaknya
seorang ahli geometri. Gambar bayangan itu berlangsung selama seminggu
diatas tangga rumahnya sehingga akhirnya Blake memutuskan untuk
melukiskan pada kanvas. Lukisan tersebut yang tampaknya mencerminkan
ucapan Plato itu kini terkenal dan berjudul The anciet of Days (sepuluh
Zaman).
Sejalan
artinya dengan kedua pernyataan itu seorang ahli astronomi dan fisika
James H. Jeans (1877—1946) menyatakan bahwa ”the Architect of the
universe now begins to appear as a pure mathematician” (Arsitek Agung
dari jagat raya kini mulai tampak sebagai seorang ahli matematika
murni). Sedang nama samaran Le Corbusier yang nama aslinya ialah Charles
Edouard Jeanneret (887-1965) mengemukakan : ”Mathematics is the
majestic structure conceved by man to grant him comprehension of the
universe” (Matematika adalah struktur besar yang dibangun oleh manusia
untuk memberikan pemahaman mengenai jagad raya).
Seorang
ahli astronomi terkenal yang berbicara tentang matematika dalam
kaitannya dengan filsafat ialah Galileo Galilei (1564-1642). Ucapannya
yang banyak dikutip orang berbunyi demikian : ”Philosophy is writen in
this grand book, the universe, which stands continually open to our
gaze. But the book cannot be understood unlees one first learns to
comprehend the language and read the letters in which it is composed. It
is written in the language of mathematics.” (Filsafat telah ditulis
dalam buku besar ini, yakni jagad raya yang terus menerus terbang
terbuka bagi pengamatan kita. Tetapi buku itu tidak dapat dimengerti
jika seseorang tidak lebih dahulu belajar memahami bahasa dan membaca
huruf-huruf yang dipakai untuk menyusun.Buku itu ditulis dalam bahasa
matematik).
Menurut
David Bergamini bahkan ada pendapat lebih ekstrim lagi dari Sir George
Biddell Airy, seorang ahli astronomi dalam abad 19 yang mendefenisikan
seluruh jagad raya sebagai sebuah mesin hitung yang berjalan abadi yang
perkakas dan roda giginya ialah suatu sistem tak terhingga dari
persamaan-persamaan diferensial yang dapat menghitung sendiri (a
perpetual-motion calculating machine whose gears and ratchets are an
infinite system of self-solving differential equations).
Dalam
zaman modern hingga abad 20 ini filsafat dan matematika berkembang
terus melalui budi dari tokoh-tokoh yang sekaligus merupakan seorang
filsuf dan juga ahli matematika seperti misalnya :
1. Rene Descartes (1596-1650)
2. Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646-1716)
3. Auguste Comte (1798-1912)
4. Henri Poincare (1854-1912)
5. Alfred North Whitehead (1861-1947)
6. Bertrand William Arthur Russell (1872-1970)
7. Luitzen Egbertus Jan Brower (1881-1966)
8. Hermann Weyl (1885-1955)
9. Hans Reichenbach (1891-1953)8
10. Alfred Tarski (lahir 1902)
11. Frank plumpton Ramsey (1903-1930)
Demikianlah
sejak permulaan sampai sekarang filsafat dan matematika terus menerus
saling mempengaruhi. Filsafat mendorong perkembangan matematika dan
sebaliknya matematika juga memacu pertumbuhan filsafat. Di muka telah
diberikan contoh bahwa perbincangan-perbincangan paradoks dari filsuf
Zeno mendorong lahirnya konsep-konsep matematik seperti variabel sangat
kecil yang semakin kecil mendekati nol (infinittesimal), limit seri tak
terhingga (inflinite series), dan proses konvergensi. Sebaliknya
ahli-ahli matematika dengan melalui metode aljabar, tehnik simbolisme,
dan teori himpunan telah membuat logika yang semula termasuk bidang
filsafat berkembang begitu pesat serta memperjelas pengertian-pengertian
seperti kebenaran, denotasi, konotasi dan bentuk yang digumuli oleh
para filsuf. Selanjutnya matematika merupakan sumber penting yang tak
kering-kering sejak zaman kono sampai abad modern bagi pemikiran
filsafat karena memberikan pelbagai persoalan untuk direnungkan,
misalnya persoalan apakah objek matematik (titik, bilangan) secara nyata
ada ataukah hanya fisik dalam pikiran manusia,masalah apakah kebenaran
matematik hanya satu macam atau banyak macamnya,dan problema apakah
pengetahuan matematik bercorak ampiris atau tak bergantung pada
pengalaman.
Interaksi
antara filsafat dan matematika itu membuat pula adanya padanan dari
konsep dan problema pada masing-masing bidang pengetahuan tersebut.
Misalnya saja filsuf merenungkan soal-soal keabadian, kebetulan,
evolusi, genus dan kwantitas. Sebagai padanannya ahli matematik
mempelajari ketakterhinggaan probabilits, kesinambungan, himpunan dan
bilangan Jadi terdapat pengertian-pengertian yang sejajar diantara kedua
bidang tersebut seperti imortality-infinity (keabadia-ketakterhinggan),
chance-probability (kebetulan-probabilitas) atau quantity-number
(Kwantitas-bilangan). Kesejajaran ini sedikit banyak menunjukkan adanya
persamaan dalam segi-segi tertentu antara filsafat dan matematika.
Bilamana diikuti pendapat Plato bahwa geometri berdasarkan akal murni,
bagi filsafatpun dapat dikatakan bahwa bidang pengetahuan ini
mempergunakan pula akal semata-mata. Dan memang filsafat dan matematik a
tidak melakukan eksperimen dan tidak memerlukan peralatan laboratorium.
Segi
persamaan lainnya ialah bahwa filsafat dan matematika begerak pada
tingkat generalitas dan abstraksi yang tinggi. Kedua bidang pengetahuan
itu membahas pelbagai ide yang sangat umum dan lazisimnya melampaui
taraf kekonkritan yang satu demi satu. Misalnya filsafat tidak
mempersoalkan kayu atau logam melainkan materi pada umumnya, tidak
merenungkan perwujudan satu-satu dari masing-masing benda melainkan
bentuk sebagai pengertian abstrak. Demikian pula matematik tidak
membahas umpamanya 2 pohon atau 3 sapi ataupun bentuk bulat dari suatu
roda kayu tertentu melainkan konsep bilangan pada umumnya dan
bangun-bangun geometri seperti lingkaran atau segitiga yang terlepas
dari penerapan dan perwujudannya pada benda-benda fisik yang ada.
Meskipun
filsafat dan matematika mempuyai segi-segi persamaan, namun, segi-segi
perbedaan juga cukup menonjal. Walaupun sama-sama merupakan pengetahuan
rasional, filsafat dan matematika masing-masing mempergunakan metode
rasional yang berbeda. Filsafat boleh dikatakan bebas menerapkan
serangkaian metode rasional yang bermacam-macam, sedang matematika hanya
bekerja dengan satu metode logis, yakni deduksi. Perbedaan metode itu
tampaknya disebabkan karena perbedan ruang lingkup dari hal-hal yang
dapat ditelaah masing-masing. Menurut filsuf Mortimer J.Adler filsafat
bersangkut-paut dengan ‘pengalaman umum dari umat manusa (comon
experience of mankind) dari umat manusa (comon experience of
mankind).Jadi seseorang filsuf dapat merenungkan apa saja sepanjang hal
itu merupakan bagian dari pengalaman manusia. Di pihak lain matematika
mencurahkan perhatiannya hanya pada segi-segi tertentu dari pelbagai hal
yang ada. Dalam sejarah matematika beberapa aspek tertentu dari
kenyataan yang ditelaah para ahli matematika ialah besaran (quantiy)
baik yang menyangkut bilangan maupun ruangan, hubungan (relation), pola
(pattern), bentuk (form), dan rakitan (structure). Penelaahan terhadap
obyek matematika itu berlangsung dengan metode deduktif dan kebenaran
dari hasil penelaahannya harus senantiasa dapat ditunjukan dengan
serangkaian langka pembuktian. Dalam filsafat proses pembuktian itu
tidak mesti terjadi tetapi yang pasti ialah bahwa filsafat harus
berlangsung dengan alasan-alasan yang diperoleh dari penalaran atau
dikemukakan dalam perbincangan yang rasional. Misalnya saja kalau
seseorang filsuf mengemukakan pendapat bahwa realitas pada dasarnya
bercorak kerohanian, ia harus menyajikan uraian-uraian yang beralasan
dan masuk akal untuk mendukung pendapatnya itu.
Dalam
filsafat dapat terjadi bahwa seseorang filsuf dengan uraian yang juga
beralasan dan masuk akal tiba pada suatu pendapat yang bertentangan
dengan pendapat filsuf lain. Misalnya sebagai lawan dari contoh pendapat
di atas, aliran filsafat materialisme dengan penalaran dan perbincangan
yang kuat mempertahankan pendapat bahwa realitas alam semesta ini pada
dasarnya bercorak kebendaan. Jadi dalam filsafat tidak terlihat
kepastian dan ketegasan seperti halnya dalam metemati. Perbedaan ini
menurut filsuf Alferd Cyril Ewing dapat dikembalikan pada 3 sebab yang
selengkapnya berbunyi demikian :
”Firstly,
it has not proved possible to fix the meaning of terms in the same
unambiguous way in philosophy as in mathematics, so that their meaning
is liable imperceptibly to change in the course of an argument and it is
very difficult to be sure that different philosophers are using the
same word in the same sense. Secondly, it is only in the sphere of
mathematics that we find simple concepts forming the basis of a vast
number of complex and yet rigorously certain inferences. Thirdly, pure
mathematics is hypothetical, I,e, it cannot tell us what will be the case if so and-so is
true,e.g. that there will be 12 chairs in a room if there are 5+7
chairs. But philosophy aims at being categorical, I,e. telling us what
realy is the case; it is therefore not adequate in philosophy, as it
often is in mathematics, to make deductions merely from postulates or
definitions.”
Pertama,
tidaklah terbukti mungkin untuk menetapkan arti dari istilah-istilah
dalam cara sama yang tak bermakna ganda pada filsafat seperti halnya
dalam matematika, dengan demikian arti dari istilah-istilah itu
cenderung secara tak terasa untuk berubah dalam lintasan suatu
perbincangan dan sangat sukar untuk memastikan bahwa filsuf-filsuf yang
berlainan akan mempergunakan perkataan yang sama dalam makna yang sama.
Kedua, hanyalah
dalam lingkungan matematik kita menjumpai konsep-konsep sederhana yang
menjadi dasar dari sejumlah besar penyimpulan-penyimpulan yang rumit
tetapi ternyata secara ketat bersifat past.
Ketiga, matematik
murni adalah hipotetis, yaitu tidak dapat memberitahu tentang apakah
yang menjadi pristiwanya dalam dunianya yang sesungguhnya, misalnya
berapa banyak benda terdapat dalam suatu tempat tertentu, melainkan
hanyalah apa yang akan menjadi pristiwanya kalau begini-dan-begitu adalah
benar, umpamanya akan terdapat 12 kersi dalam satu kamar kalau ada 5+7
kursi. Tetapi filsafat menuju pada corak kategorikal, yakni memberitahu
kita apakah senyatanya yang merupakan kususnya; karena tidaklah memadai
dalam filsafat sebagaimana halnya sering dalam matematik untuk membuat
deduksi-deduksi semata-mata dari patokan pikir atau batasan).
Akhirnya
dalam hubungannya dengan deduksi-deduksi yang dibuat matematika oleh
matematika itu filsuf Inggris C.D. Broad dalam bukunya Scientific Thought (1949)
menegaskan suatu perbedaan lagi antara filsafat dengan matematika.
Dalam bidang matematika orang dengan berpangkal pada oksioma-oksioma
yang tak diragukan atau premisis-premisis yang dianggap sebagai hipotese
menurunkan kesimpulan-kesimpulan sampai yang jauh sekali.sebaliknya
filsafat tidak berminat terhadap kesimpulan-kesimpulan yang jauh,
melainkan terutama bersangkut paut dengan analisis dan penilaian dari
premisis-premisis semulah.
Demikianlah
hubungannya dengan yang demikian erat selama berabad-abad antara
filsafat dengan matematika berikut segenap segi persamaannya tak
diragukan lagi telah menumbuhkan suatu bidang pengetahuan yang dewasa
ini sangat menarik perhatian sebagian ahli filsafat atau ahli matematika
ataupun ahli kedua-duanya filsafat dan matematika.
Komentar
Posting Komentar