Pendidikan sebagai Penipuan
Untuk kesekian kalinya, seorang yang dikenal saleh di
lingkungannya, seorang Ustadz, melakukan pemerkosaan. Kali ini,
korbannya adalah anak perempuan berusia 6 tahun. Pemerkosaan ini telah
berlangsung berulang kali dalam jangka waktu setahun. Ini merupakan
kejadian terakhir dari rangkaian kejahatan bejat yang dilakukan oleh
orang-orang yang mengaku saleh dan bahkan menjadi pemimpin agama di
masyarakatnya.
Pelecehan seksual terhadap anak juga menjadi masalah besar
di berbagai sekolah Katolik di Eropa dan Amerika. Para pelakunya adalah
para Pastor yang telah bekerja di sana puluhan tahun, dan korbannya
juga ribuan. Para petinggi Gereja Katolik Roma sebenarnya sudah tahu
tentang hal ini. Namun, mereka tidak melakukan langkah-langkah yang
tepat untuk mencegah kejahatan ini berlanjut.
Kisah pelecehan seksual terhadap perempuan juga banyak
terjadi di komunitas-komunitas Buddhis di Amerika Serikat. Walaupun kita
harus ingat, para guru Zen ini bukanlah Pastur atau Ustadz yang
berkhotbah soal kesucian diri dalam bentuk penolakan pada seks. Yang
menjadi korban juga perempuan dewasa, dan bukan anak kecil. Kita juga
harus tetap kritis pada berita-berita semacam ini, tanpa menyudutkan
para korban yang telah mengalami banyak penderitaan.
Di Indonesia, kasus korupsi di kalangan politikus bukanlah
sesuatu yang mengagetkan. Orang-orang yang terkenal saleh dan dipercaya
oleh rakyat justru menipu rakyat. Akibatnya, banyak program politik
tidak berjalan, karena dananya dicuri oleh para politikus. Rakyat pun
tak mendapatkan hak-hak mereka sebagai warga negara.
Katanya, Indonesia negara yang beragama dan beriman.
Katanya, kita hidup dengan moralitas dan nilai-nilai yang luhur. Namun,
yang justru melanggar moralitas dan nilai-nilai luhur ini justru adalah
para pemuka agama yang gemar berbicara moral dan orang-orang yang
dipercaya rakyat untuk memperjuangkan keadilan dan kemakmuran bersama.
Ada sesuatu yang salah disini. Dimana salahnya?
Salah Asuh
Saya berpendapat, bahwa kesalahan terbesar kita sebagai
bangsa, sehingga melahirkan begitu banyak kemunafikan (pemuka agama
bejat, politikus busuk), adalah kesalahan pada pola didik kita sebagai
manusia, sedari kita kecil. Sejak kecil, kita diajarkan hal-hal yang
salah, sehingga kita hidup dengan cara yang salah. Apa tandanya, bahwa
itu semua salah? Kita menderita, dan akibatnya, kita membuat orang lain
menderita dengan perbuatan kita.
Dengan kata lain, Indonesia telah mengalami kesalahan pola
asuh. Sejak kecil, kita diajar untuk menjadi manusia yang baik dan
sukses. Baik dan sukses disini berarti, kita mendapatkan hal-hal di luar
diri kita, yang kita tambahan ke dalam diri kita. Agama menyebutnya
pahala atau rahmat. Sejak kecil, kita diajarkan untuk mencari pengakuan,
kebahagiaan dan kepenuhan diri di luar diri kita, yakni dari orang
lain.
Ketika gagal mendapatkan pengakuan dari orang lain, atau
misalnya dihina, kita lalu sedih dan menderita. Ketika gagal mendapatkan
tujuan di luar diri kita, kita lalu merasa rendah dan bodoh. Dalam
keadaan sedih dan menderita, kita terus mencari di luar diri kita
sesuatu untuk menghilangkan penderitaan kita. Alhasil, kita tidak akan
pernah mendapatkannya, dan hidup kita semakin menderita.
Padahal, sejatinya, kita tidak memerlukan pengakuan dari
siapapun. Kepenuhan diri sudah ada di dalam diri kita, dan tidak tidak
perlu mencarinya di luar. Kebahagiaan sudah selalu ada di dalam diri
kita. Kita tinggal hanya perlu melihat ke dalam hati, dan tidak lagi
sibuk mencari di luar diri kita.
Segala kesedihan hidup bisa dilampaui dengan mudah, ketika
kita belajar untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan tidak dari orang
lain atau dari benda-benda di luar diri kita, tetapi melihat ke dalam
hati dan diri kita sendiri. Kesulitan boleh datang bertubi-tubi. Akan
tetapi, kita tidak akan takut dan cemas, karena kita bisa dengan mudah
menemukan kedamaian dan kebahagiaan di dalam hati. Namun, kita tidak
pernah diajarkan soal ini, bukan?
Pendidikan sebagai Penipuan
Sejak kecil, kita juga diajarkan untuk terpukau pada
benda-benda cantik dan mahal di sekitar kita. Ukuran keberhasilan hidup
kita adalah, mampukah kita memiliki benda-benda cantik dan mahal
tersebut? Jika ya, maka kita disebut berhasil. Jika tidak, maka kita
dicap sebagai orang gagal.
Betapa bodohnya asuhan semacam ini. Sejatinya, manusia tak
perlu benda-benda untuk mencapai kebahagiaan yang sejati. Ia hanya
cukup melatih pikirannya dan puas dengan apa yang ia punya sekarang dan
disini. Pengasuhan dari orang tua dan masyarakat kita, walaupun mungkin
maksudnya baik, sejatinya adalah penipuan.
Sejak kecil, kita juga diajar untuk mematuhi aturan agama
dan hukum. Kita diajarkan patuh buta, supaya mendapatkan pahala atau
rahmat, baik di kehidupan ini, maupun di kehidupan nanti. Kita diajarkan
untuk hidup seperti kambing dan budak, yakni tak berani berpikir dan
tak berani mempertanyakan aturan-aturan yang ada. Akibatnya, ketika ada
kesempatan, kita akan segera melanggar semua peraturan yang ada, dan
membuat diri serta orang lain menderita.
Padahal, sejatinya, pikiran kritis lebih penting dari
kepatuhan. Keberanian dan kemampuan bertanya lebih penting dari
kemampuan untuk menjalankan perintah. Pada level yang tertinggi, kita
hidup tidak lagi dengan aturan dan hukum yang dipaksakan dari luar oleh
masyarakat kita, melainkan dengan intuisi dan nurani kita yang melampaui
akal budi itu sendiri. Kita tidak pernah diajarkan tentang hal ini,
bukan? Sekali lagi, pendidikan dan pengasuhan dari masyarakat kita telah
menipu kita.
Sejak kecil, kita diajarkan untuk peduli pada dunia. Kita
diajarkan untuk peduli apa kata orang. Kita diajarkan untuk
memperhatikan dan menjaga nama baik. Jika kita gagal menyenangkan
masyarakat kita, maka kita akan dianggap sebagai orang yang gagal dan
pencundang.
Ini juga penipuan terbesar yang pernah diajarkan kepada
kita. Sejatinya, segala sesuatu di dunia ini fana, yakni bersifat
sementara dan ilusif, karena ia begitu cepat berganti. Nama baik itu
tidak ada. Kehormatan itu semu. Kerinduan akan kehormatan dan niat
menjaga nama baik justru membuat hidup kita menderita.
Sesat Asuhan
Sejak kecil, kita juga diajar untuk menimba ilmu. Kita
diajar untuk mengisi kepala kita dengan hal-hal baru. Kita diajar untuk
membaca buku-buku. Kita diajar untuk menghisap informasi terus menerus,
sampai kita mati.
Padahal, sejatinya, belajar itu tidak sama dengan mengisi
kepala. Belajar itu, sejatinya, adalah mengosongkan kepala kita dari
kotoran-kotoran dunia dalam bentuk informasi-informasi tak berguna.
Ketika semua kotoran telah pergi, kita lalu menjadi alami dan bijak,
sesuai dengan kodrat alami kita sebagai manusia. Pendidikan, dalam arti
yang kita alami sekarang ini di berbagai belahan dunia, adalah sumber dari segala kesesatan yang menjadi akar dari segala penderitaan dan kejahatan di dunia.
Sejak kecil, melalui tayangan sinetron dan lagu-lagu
romantis, kita diajar untuk mencintai orang lain secara romantis. Ketika
romantisme mati, yang muncul kemudian adalah sakit hati. Lalu, kita
menangis dan kecewa. Kita pun hidup dalam lingkaran setan romantisme
yang tak ada akhirnya, sampai kita mati.
Padahal, sejatinya, cinta bukanlah romantisme. Justru,
romantisme adalah musuh dari cinta. Romantisme juga menghambat lahirnya
cinta yang sesungguhnya. Tayangan sinetron dan lagu-lagu cinta telah
mengajarkan kita kesesatan berpikir yang membuahkan penderitaan sia-sia
dalam hidup kita.
Sedari kecil, kita juga diajarkan, bahwa kematian adalah
akhir dari hidup kita. Ketika kita mati, kita akan masuk neraka, surga
atau reinkarnasi. Kalau kita baik, maka kita akan masuk surga, atau
bereinkarnasi menjadi orang yang tampan, cantik, sehat dan kaya. Kalau
kita jahat, maka kita masuk neraka, atau bereinkarnasi menjadi hewan
yang paling dibenci manusia.
Padahal, sejatinya, tidak ada yang tahu, apa yang terjadi
setelah kematian. Semua hanya merasa tahu, tetapi tidak sungguh-sungguh
tahu. Yang jelas, semuanya berasal dari alam, dan akan kembali ke alam.
Yang meninggal tidak pernah sungguh meninggalkan kita, karena ia ada di
udara yang kita hirup dan semua yang ada di sekitar kita.
Hidup dalam Ilusi
Pengasuhan dan pendidikan yang kita terima sejak kita
kecil sebagian besar adalah penipuan. Ia berpijak pada keinginan untuk
menjadikan kita manusia yang gampang diatur dan diperas untuk
kepentingan pihak-pihak tertentu di masyarakat. Kita diajarkan untuk
selalu mencari nama baik, kehormatan dan sukses duniawi yang fana, jika
perlu dengan menjilat orang lain, atau justru merugikan mereka. Kita
hidup dalam tegangan yang sia-sia, karena hidup dengan pikiran-pikiran
yang salah.
Sebagai bagian dari masyarakat, kita tentu butuh orang
lain. Kita bekerja sama dengan orang lain, supaya bisa melindungi diri
dari ganasnya alam, dan bisa tetap hidup. Namun, secara emosional, kita
sesungguhnya tidak membutuhkan siapapun. Kebahagiaan dan kedamaian dapat
kita temukan di dalam hati kita. Dan sejatinya, kita sama sekali tidak
membutuhkan pengakuan dan penghargaan dari orang lain. Itu semua semu
dan menipu.
Kebutuhan emosional adalah ilusi. Itu adalah cerita bohong
yang diajarkan oleh masyarakat kita melalui berbagai media, mulai dari
iklan, sinetron, lagu-lagu murahan, sampai dengan ilmu pengetahuan.
Sedihnya, banyak orang menderita secara emosional, karena mengira
kebutuhan emosionalnya nyata. Lalu, kita merasa butuh terapi, dan para
dokter serta terapis mendapatkan uang banyak dengan menipu masyarakat.
Sekali lagi, kita semua ditipu oleh pendidikan dan pengasuhan yang kita
terima dari masyarakat kita.
Dalam kondisinya sekarang ini, apakah pendidikan di
Indonesia, dan juga di negara-negara lain, sejatinya adalah penipuan?
Coba pikirkan baik-baik.
Komentar
Posting Komentar