Hidup yang Terbalik
Banyak orang kini menjalani hidup
yang terbalik. Apa yang buruk dikiranya sebagai baik, dan apa yang baik
kini dianggap sebagai sesuatu yang aneh, bahkan jahat. Gejala ini
tersebar di berbagai bidang kehidupan, mulai dari politik sampai dengan
keluarga. Apa yang sebenarnya terjadi, dan bagaimana kita
menyingkapinya?
Hidup yang Terbalik
Banyak orang merasa dirinya
hidup. Mereka bangun pagi, bekerja, makan lalu tidur. Seumur hidupnya,
mereka mengikuti apa kata orang, yakni apa yang diinginkan masyarakatnya
untuk dirinya. Mereka memang hidup, tetapi tidak sungguh-sungguh hidup,
karena terus tunduk pada dunia di luar dirinya.
Mereka berbuat sesuatu, karena
masyarakat menginginkannya. Mereka menolak untuk hidup dalam kebebasan,
karena itu menakutkan. Orang-orang ini menjalani hidup-yang-bukan-hidup. Mereka hidup, namun sebenarnya sudah mati.
Di sisi lainnya, banyak juga
orang hidup, tetapi mereka diperbudak oleh ambisi-ambisi pribadinya,
sehingga menjadi buta akan segala hal. Mereka hidup, tetapi tidak
sungguh hidup, karena terus berada dalam tegangan dan penderitaan.
Ambisi itu rapuh. Ketika orang gagal mewujudkannya, kekecewaan datang
tak terkendali. Ketika terwujud, rasanya hampa dan tawar, seperti roti
tanpa selai.
Ambisi menciptakan ketegangan
dalam diri. Ia membuat orang tak peduli dengan lingkungannya. Ia hanya
terpaku untuk mewujudkan satu tujuan, yakni ambisinya sendiri, jika
perlu dengan mengorbankan orang lain. Orang semacam ini juga tampak
hidup, tetapi sebenarnya juga sudah mati.
Makanan juga seharusnya
menyehatkan. Namun, yang kini terjadi adalah, makanan justru menjadi
sumber penyakit bagi tubuh. Dengan kata lain, makanan kini telah berubah
menjadi racun. Ia tidak menghidupkan dan menyehatkan, tetapi justru
membunuh secara perlahan, seringkali tanpa kita sadari.
Para dokter dan ahli gizi disuap
untuk memasarkan obat-obat dan bahan makanan yang tidak dibutuhkan
masyarakat. Racun pun kini dilihat sebagai obat dan makanan yang
bergizi. Semuanya terbalik. Yang paling dirugikan adalah masyarakat luas
yang tak memiliki pengetahuan mencukupi tentang dunia yang terbalik
ini.
Untuk bisa hidup, manusia harus
bekerja. Dengan bekerja, ia lalu mampu mewujudkan kemampuan dan
bakat-bakatnya yang sebelumnya terpendam. Ia pun lalu bisa menjalani
hidup yang penuh dan bahagia. Namun, yang terjadi adalah, kini pekerjaan
juga menghisap dan memperbudak manusia. Ia menjadikan manusia sebagai
alat untuk meraih keuntungan finansial.
Orang diperas untuk bekerja,
sampai melewati batas. Banyak orang mengalami penyakit, karena tekanan
semacam ini. Perbudakan kini ditutupi dengan konsep-konsep bagus,
seperti outsourcing. Pekerjaan tidak lagi menunjang dan mengembangkan hidup manusia, tetapi justru menghancurkannya, tanpa ampun.
Pendidikan juga mengalami nasib
yang sama. Pendidikan berfungsi untuk mendidik, sehingga orang bisa
menjadi cerdas, baik secara intelektual, moral, fisik maupun emosional.
Yang terjadi kini adalah, pendidikan justru memperbodoh. Anak diminta
untuk menghafal dan mengerjakan hal-hal yang amat sulit, namun tak
berguna untuk kehidupan.
Akibatnya, mereka tidak bahagia.
Mereka mengalami tekanan batin, karena pendidikan yang dijalaninya.
Kecerdasan intelektual menurun. Kecerdasan emosional, fisik dan moral
juga makin rendah. Pendidikan justru menjadi sumber dari segala
penderitaan dan masalah kehidupan.
Agama juga terbalik sekarang ini.
Agama seharusnya memberi makna bagi kehidupan manusia. Agama juga
menjadi ikatan sosial di antara beragam manusia, sehingga tidak terjadi
konflik satu sama lain. Yang terjadi adalah, kini agama justru
memisah-misahkan manusia. Agama justru membuat hati orang menjadi keras
dan gelisah.
Banyak perang menjadikan agama
sebagai alatnya. Agama telah menjadi alat politik untuk menciptakan
perpecahan antar manusia. Ia dipelintir sedemikian rupa, sehingga
membenarkan rasisme, diskriminasi dan beragam kejahatan lainnya. Agama
tidak lagi menjadi agama yang mengikat dan memberikan makna bagi hidup
manusia, melainkan telah menjadi ideologi yang membuat orang buta dan
kejam.
Hal yang sama terjadi di bidang
ekonomi. Ekonomi bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bersama,
tanpa kecuali. Yang kini terjadi, ekonomi memperkaya satu pihak, dan
pada saat yang sama mempermiskin pihak lainnya. Ia menciptakan jurang
yang amat besar antara si kaya dan si miskin.
Dari jurang tersebut, lahirlah
konflik antar manusia. Orang hidup dalam rasa iri dan curiga satu sama
lain. Apartemen mewah bersandingan dengan pemukiman kumuh di berbagai
tempat di dunia. Semua ini terjadi, akibat tata ekonomi yang telah
kehilangan akar dan tujuan dasarnya.
Politik juga mengalami nasib yang
sama. Politik seharusnya merupakan tata kelola untuk menciptakan
keadilan dan kesejahteraan bagi semua. Namun, ia kini juga sudah
terbalik. Politik menjadi ajang memperebutkan kekuasaan, guna
meningkatkan kekayaan pribadi.
Korupsi menggerogoti politik dari
dalam. Kebohongan dan penipuan dianggap merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari politik. Orang curiga dan nyinyir begitu berbicara soal
politik. Politik telah kehilangan rohnya, dan menjadi arena tinju
kekuasaan antara orang-orang yang rakus dan ambisius.
Bidang kesehatan juga telah
mengalami pembalikan. Bidang kedokteran seharusnya membuat orang sehat,
dan meningkatkan kualitas hidupnya. Yang kini terjadi adalah sebaliknya.
Orang justru dibuat ketergantungan dengan berbagai obat, dan kemudian
harus menjalani hidup yang penuh dengan penderitaan, karena
ketergantungan itu.
Banyak dokter yang memberikan
nasihat palsu kepada pasiennya, guna memperoleh keuntungan dari
perusahaan-perusahaan obat yang membayar mereka. Penelitian-penelitian
di bidang psikologi juga menyesatkan, dan justru membuat orang semakin
menderita secara batin dalam hidupnya. Uang dihamburkan untuk berbagai
penelitian, namun hasilnya justru malah menyakiti manusia. Yang
diciptakan bukanlah cara baru untuk meningkatkan kualitas hidup manusia,
melainkan justru penyakit-penyakit baru.
Apa yang Terjadi?
Mengapa ini semua terjadi?
Bagaimana kita memahami gejala hidup yang terbalik ini? Setidaknya, ada
dua cara untuk memahami semua gejala ini. Yang pertama datang dari
pemikiran konservatif yang berpijak pada tradisi. Yang kedua datang dari
pemikiran Thomas Kuhn, filsuf ilmu pengetahuan di pertengahan abad
ke-20.
Bagi orang-orang konservatif,
semua gejala ini menandakan satu hal, yakni hancurnya peradaban. Manusia
tidak lagi hidup dengan nilai, melainkan hanya menuruti begitu saja
keinginan dan ambisinya. Akibatnya, semua sistem penopang kehidupan
bersama tidak lagi berjalan. Konflik dan penderitaan pun semakin
mewarnai kehidupan manusia, dan hidup manusia pun semakin terbalik.
Penjelasan lain menegaskan, bahwa
apa yang terjadi sekarang ini merupakan suatu krisis. Dalam arti ini,
menurut Thomas Kuhn, krisis adalah suatu keadaan, dimana pandangan dan
nilai-nilai lama sudah tidak lagi berlaku, namun nilai-nilai baru belum
diterima secara umum. Manusia pun hidup dalam situasi “diantara”, tanpa
kepastian dan pegangan yang jelas. Yang perlu dilakukan adalah berusaha
untuk mencari sintesis dari semua kekacauan yang ada, yakni titik
seimbang yang nantinya akan menciptakan pandangan baru.
Di dalam pandangan baru ini,
manusia pun bisa kembali menemukan nilai-nilai yang dianggap pas untuk
mengatur hidup bersama. Kuhn menyebut situasi “hidup yang terbalik” ini
sebagai “krisis paradigma”. Paradigma dapat dimengerti sebagai cara
pandang yang diterima secara umum. Sekarang ini, kita belum memiliki
paradigma, sehingga kita terus hidup dalam ketegangan dan
ketidakpastian.
Secara pribadi, saya menolak
kedua pandangan tersebut. Kita melihat semua keadaan ini sebagai krisis
dan sebagai tanda hancurnya peradaban, karena kita masih terjebak pada
cara berpikir yang bersifat dualistik. Artinya, kita melihat dunia ini
sebagai pertentangan antara baik dan buruk, benar dan salah, tepat dan
tidak tepat. Untuk melampaui pandangan yang bersifat dualistik ini, kita
perlu menengok ke filsafat timur yang berkembang di India, Cina, Jepang
dan Korea.
Melampaui Dualisme
Dunia kita memang berubah. Namun,
dunia memang selalu berubah. Ia tidak pernah tetap. Perubahan tata
nilai tidak lagi bisa dipandang sebagai baik atau buruk, benar atau
salah, tetapi sebagai sebuah peristiwa yang melampaui penilaian-penilaian semacam itu.
Berpijak pada kebijaksanaan Timur
kuno, kita harus melihat dunia apa adanya, yakni melampaui segala
penilaian baik dan buruk yang bercokol di kepala kita. Penilaian baik
buruk itu sendiri berpijak pada sebentuk tata nilai yang dibentuk pada
satu masa, dan masa itu kini telah berubah. Apa yang benar kini dianggap
salah, dan apa yang salah kini dianggap sebagai sesuatu yang wajar,
bahkan baik untuk dilakukan.
Ada satu prinsip yang bisa kita pakai untuk menanggap situasi “hidup yang terbalik” ini, yakni sedapat mungkin mengurangi penderitaan
yang ada, dengan melihat peristiwa demi peristiwa yang terjadi secara
jeli. Setelah penilaian baik-buruk dan benar-salah dilampaui, hanya satu
yang tampak, apakah ada penderitaan yang dirasakan? Jika ada, apa akar
penderitaan tersebut, dan bagaimana penderitaan itu sedapat mungkin bisa
dikurangi? Dua pertanyaan ini haruslah menjadi pemandu hidup kita
sekarang ini.
Saya menyebut pendekatan ini
sebagai pendekatan pragmatis-radikal. Pragmatis berarti pendekatan ini
berfokus pada masalah yang ada di depan mata, dan bagaimana penderitaan
yang berada di sekitar masalah itu bisa dikurangi. Radikal berarti
pendekatan ini hendak membongkar akar (radix) penderitaan yang
melahirkan sekaligus menjadi akibat dari masalah yang ada. Pola berpikir
ini bisa digunakan untuk memecahkan berbagai masalah yang muncul, baik
pada level pribadi maupun sosial.
Pada akhirnya, tidak ada yang sungguh-sungguh baik dan sungguh-sungguh buruk. Semua lahir dari keadaan-keadaan yang menciptakannya. Tidak ada yang sungguh-sungguh benar dan sungguh-sungguh salah.
Semua lahir dari rasa sakit, dan akan menciptakan rasa sakit pula. Yang
penting adalah bagaimana semua ini bisa dilampaui dan diputus sampai ke
akarnya, sehingga kita bisa menemukan kedamaian, baik di hati, maupun
di bumi.
Komentar
Posting Komentar