Mendidik dengan Hati, Royalti Menanti
Dahulu disaat kita masih kecil, guru di sekolah sering kali menanyakan pada kita, “anakku, nanti jika sudah besar kamu mau jadi apa?, rata-rata jawaban kita akan mengatakan, “saya akan menjadi guru” Ya, itulah cita-cita yang dibangun lebih dari 70% anak Indonesia mengatakan seperti itu. Disadari atau tidak, kita juga mungkin pernah memilih cita-cita yang demikian. Namun persoalan sekarang? Disaat kita telah dewasa, kita sudah dapat melihat dunia ini dengan luas, seakan cita-cita tersebut hilang begitu saja.
Apa yang sebenarnya terjadi pada kita? Dahulu disaat kita masih kecil, menjadi guru seakan memberikan nilai yang sangat tinggi dan tak satupun kita memiliki mimpi untuk menjadi kuli, buruh dan lain-lain. Tapi sekarang kenyataan dan pernyataan yang pernah kita nyatakan terdahulu, hilang dengan kenyataan yang kita miliki sekarang. Kemana pernyataan yang dahulu menjadi kebanggaan, kemana cita-cita yang dahulu kita banggakan seakan kini hilang begitu saja tanpa ada rekam jejaknya. Lalu mengapa sekarang tidak lagi terbesit untuk mengulang dan mengingat akan cita-cita masa lalu?
Mengapa rata-rata anak-anak lebih dari 70% pernyataannya adalah ingin menjadi guru? akankah pernyataan itu di rekayasa sebelumnya? Ataukah pernyataan tersebut karena adanya tekanan dari orang tuanya? Tentu jika kita masih ingat, tak satupun ada yang menekan ataupun meminta untuk mengambil keputusan itu. Pertanyaan sekarang mengapa rata-rata kita memilih untuk menjadi guru? Jawabannya adalah karena menjadi guru adalah suara hati yang bersih yang Tuhan letakkan didalam nurani manusia.
Menjadi guru merupakan merupakan panggilan jiwa. Mengabdi dengan sepenuh hati dan seluruh tekad yang kita punya. Tetapi hal itu tidaklah cukup, pengetahuan yang luas dan sifat keteladanan juga harus dipunyai. Terlebih lagi rasa kedekatan pada siswa perlu selalu kita jaga. Sehingga kita bisa menjadi guru yang baik, menyenangkan dan dirindukan.
Berbeda masa berbeda pula cara menghadapinya. Slogan tersebut sudah saya rasakan sebagai calon pendidik. Siswa dengan kelas yang sama dan masa yang berbeda harus dihadapi dengan seni dan jurus yang berbeda. Semakin lama masanya, pola dan tingkah laku siswa semakin berbahaya, jika tidak dihadapi oleh guru yang luar biasa yang mendidik dengan hati, maka akan melahirkan siswa yang biasa-biasa saja dan tidak memiliki rasa.
Mendidik anak-anak dengan hati adalah suatu keinginan yang perlu mengalir dalam urat nadi kita setiap kali berada di depan kelas. “Mendidik Dengan Hati”, kata-kata itu sungguh amat susah untuk dilaksanakan walaupun sebenarnya sangat mudah untuk diucapkan. Dan saya yakin semua orang yang menjadi guru punya keinginan untuk mendidik muridnya dengan hati, tapi keinginan itu bagi sebagian guru hanya sebuah harapan yang sulit sekali untuk diwujudkan bahkan mungkin saja bagi sebagian guru bukan hanya sulit tapi mustahil untuk mewujudkan kenginan “mendidik dengan hati” kepada para muridnya.
Mendidik dengan hati adalah mendidik dengan kelembutan dan penuh kasih sayang, yang mana dua hal ini adalah bersumber dari hati. Salah satu cara pengajaran ini adalah dengan memberikan lebih banyak cinta terhadap pekerjaan sebagai pendidik juga kepada anak didiknya. Dengan menyadari bahwa mereka adalah titipan mulia yang harus diajari dari tidak tahu menjadi tahu, dididik dari tidak baik menjadi baik.
Betapa banyak sekarang mereka yang terpaksa atau terjebak menjadi guru hanya sekadar mengajar tanpa mengerti dan mengenal bagaimana mengajar dan mendidik dengan hati dan kelembutan. Tak sedikit guru yang hanya bisa menjadi pengajar yang hebat dan menyampaikan materi pelajaran dengan sempurna tetapi sedikit sekali mereka yang bisa mendidik muridnya menjadi lebih baik. Akibatnya tak sedikit pula guru yang menggunakan kekuasaannya untuk menjadi monster bagi anak didiknya sendiri. Mereka lebih senang membentak dibandingkan peduli dan berbagi, lebih suka memberi hukuman dibandingkan motivasi dan pujian. Bila demikian, tidak ada bahasa hati yang mereka terima agar mereka mengerti apa yang guru inginkan. Mengajar dan mendidik dengan cinta akan melahirkan generasi yang tumbuh dengan sifat positif, seperti kepercayaan diri yang tinggi, berani, bertanggung jawab, dan tidak mudah patah semangat.
Mendidik dengan hati bukan hanya menyampaikan materi sebanyak-banyaknya kepada murid dan hati sang guru mati rasa, tetapi mampu menghadirkan hati di kelas ketika berhadapan dengan para siswanya dan sejauh mana perkataan yang berkualitas menyentuh hati mereka, tentu kita mendambakan apa yang kita sampaikan dapat menghujam ke dalam jiwa, mengakar ke dalam dada, memberikan pengaruh ke dalam ibadah, membangun akhlak mulia sehingga membentuk generasi harapan bangsa dan agama. Orang akan selalu melupakan apa yang kita lakukan. Mereka juga akan selalu melupakan apa yang kita katakan. Tetapi mereka tidak akan pernah melupakan apa yang mereka rasakan karena kita. Artinya guru yang menyampaikan dengan hati akan sampai juga ke hati para murid-muridnya.
Mendidik dengan hati bukan hanya siap mengajarkan kepada anak, namun juga siap mendengar secara reflektif apa pun yang diucapkan anak. Memahami dan menghargai perasaannya serta menampakan bahwa kita benar-benar menyimak apa yang dikatakan, ulangi apa yang dia ucapkan, dan ekspresikan bahwa kita sedang memikirkan perasaannya, berikan respon positif, berikan umpan balik dengan nasihat atau usulan yang membangun jiwanya. Kegiatan dan hasil pembelajaran di sekolah akan jauh berbeda antara pengajaran kognitif dan mendidik dengan hati. Pengajaran kognitif memberi dampak kepada sulitnya pelajaran diserap oleh murid. Seringkali kita melihat bahwa murid yang membenci guru matematika akan membenci pelajaran matematika, apalagi di Sekolah Dasar jika siswa tidak menyenangi guru kelasnya maka semua mata pelajaran yang diajarkan tidak ada yang bisa dipahami siswa. Hal ini sudah saya rasakan dari pengalaman praktek mengajar di salah satu Sekolah Dasar.
Kesuksesan mendidik bukan semata-mata dari betapa kerasnya otot dan betapa tajamnya otak, namun juga betapa lembut hati pendidik dalam berhubungan dengan muridnya. Terdapat Filosofi yang menyatakan tentang mendidik yaitu “Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar berlaku adil. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menentukan cinta dalam kehidupan”
Guru yang mendidik dengan hati targetnya tidak saja anak didiknya sukses di dunia tetapi jauh dari itu, yaitu “Never Ending Succes” artinya tidak saja targetnya siswa sukses di dunia saja, tapi sukses dunia dan akhirat. Kita harus benar-benar menggunakan hati kita untuk mengerti para murid, untuk mengetahui apa yang terjadi di dalam hati dan pikiran mereka dan bagaimana menyelaminya dan berusaha untuk berempati dan mencari solusinya. Guru yang mendidik dengan hati akan selalu mendapatkan royalti yang mengalir secara terus-menerus tanpa henti dari semua kebaikan yang sudah diberikannya sampai ke akhirat nanti.
Komentar
Posting Komentar